Diyakini bahwa setiap manusia tentulah memiliki suatu pandangan terhadap suatu kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Masyarakat Sunda sebagai satu komunitas manusia Sunda dipastikan pula memiliki pandangan terhadap suatu kenyataan tersebut. Pandangan terhadap kenyataan itu telah diarahkan oleh seluruh sistem aturan, lembaga, tipologi, peranan ideologi, mitologi, dan lain-lain yang sudah tentu berbeda menurut masyarakat dan kebudayaannya. Pandangan terhadap suatu kenyataan tersebut salah satunya dapat tercermin dari uga yang dibuat oleh masyarakat Sunda.
Dikalangan masyarakat Sunda, ada suatu kepercayaan bahwa perubahan sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun. Ramalan mengenai perubahan sosial yang penting, terutama yang menyangkut masalah negara atau wilayah ini biasanya terdapat di dalam uga. Uga sebagai suatu bentuk ramalan tentunya dapat diinterpretasikan bergantung kepada tingkat kepercayaan orang yang mengiterpretasikannya. Bahkan tidak jarang ada orang yang mengiterpretasikan kata-kata yang terkandung di dalam uga tersebut diartikan secara harfiah atau secara kongkrit.
Keberadaan uga hadir dan dikenal dikalangan masyarakat Sunda terutama pada masyarakat agraris-tradisional, khususnya di kalangan orang-orang tua dan hampir tidak dikenal lagi di kalangan orang-orang muda. Ungkapan-ungkapan yang terkandung di dalam uga biasanya digunakan orang-orang tua untuk memahami “tanda-tanda zaman” yaitu meramalkan akan adanya suatu perubahan sosial, politik pada masa yang akan datang yang terjadi di lingkungan mereka tinggal. Uga lebih sering diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang mengandung aspek siloka (simbolik). Kata-kata yang dipergunakannya pun sederhana, dalam bahasa sedang atau kasar menurut tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda. Uga dikenal juga sebagai tradisi lisan masyarakat Sunda. Oleh kareta itu uga memiliki sifat yang anonim tidak dikenal orang yang mengarangnya dan tidak jelas siapa pencetusnya.
Selain ada aspek simbolik di dalam uga juga terkandung unsur waktu. Hal ini terbukti dengan ditemukannya ungkapan dalam tradisi Sunda yang seperti ini geus nepi ka ugana, geus nepi kana waktu anu ditujum ku karuhun (sudah sampai pada uganya, sudah tiba pada saat yang diramalkan leluhur). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa di dalam ramalan yang berbentuk uga memiliki faktor “waktu” yang merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi unsur waktu yang terkandung di dalam uga bersifat tidak pasti, bisa terjadi kapan saja, bisa besok, lusa, tahun depan, atau mungkin bisa saja tidak pernah terjadi dan itulah mengapa uga lebih dikenal sebagai ramalan oleh masyarakat Sunda.
Uga sebagai khazanah dari tradisi lisan masyarakat Sunda tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat Sunda itu sendiri. Kelahiran dan penyebarannya terus muncul seiring dengan perubahan kondisi sosial yang terjadi di daerah wilayah Jawa Barat, seperti di daerah Tasikmalaya kita akan menemukan adanya Uga Galunggung yang berbunyi : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung ‘Orang Sunda akan tinggi derajatnya, apabila pulung turun dari Galunggung’, di daerah Bandung terdapat Uga Bandung yang berbunyi : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui ‘Orang Sunda akan tinggi derajatnya, bila orang yang merajuk dari Bandung ke Sungai Cikapundung kembali lagi’, di daerah Ciamis ada Uga Kawasen yang berbunyi : Ari nu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu jolna ti Gunung Surandil, banderana karakas cau ‘ yang bakal menjadi ratu, berbaju rombeng, bertopi tempurung, datangnya dari Gunung Surandil, berbendera daun pisan kering’, di daerah Sukabumi kita mendapati Uga Cisolok yang berbunyi : Nagara kartaraharja lamun Lebak Cawene geus kapanggih ‘negara kertaraharja, adil dan makmur, apabila Lebak Cawene sudah ditemukan’.
Selain dari uga-uga tadi, ada juga uga-uga yang lainnya yang terasa lebih ringkas dan popular di kalangan masyarakat hingga saat sekarang ini, seperti Bandung heurin ku tangtung ‘Bandung penuh sesak dengan bangunan’, Cianjur katalanjuran ‘Cianjur terlewatkan’, Sumedang ngarangrangan ‘Sumedang semakin meranggas’.
Walaupun uga dianggap oleh sebagian besar masyarakat Sunda sebagai suatu bentuk ramalan karuhun, namun ternyata bila kita renungkan makna kata-katanya dalam-dalam, mungkin kita akan mendapatkan sesuatu hal yang lebih dari sekedar sebuah ramalan, yaitu terungkapnya sebuah pandangan hidup manusia Sunda terhadap kehidupan ini. Sebab di dalam uga juga terkandung unsur-unsur moral guidance (petunjuk moral) dan moral teaching (ajaran moral) yang bersifat universal dalam kehidupan masyarakat. Dengan petunjuk moral dan ajaran moral tersebut diharapkan dapat membina kepribadian manusia Sunda di dalam mendapatkan kembali kejayaan dan kesentosaan negara pada masa yang akan datang.
Romantisme dan nostalgia terhadap kejayaan Sunda bihari masa lampau zaman keemasan kerajaan Pajajaran terus membayangi harapan dan keinginan sebagian besar orang Sunda. Agaknya, sejak kehancuran kerajaan Pajajaran bahkan mungkin hingga saat ini, orang Sunda belum menemukan suatu situasi sosial yang mereka harapkan. Uga dapat dipandang oleh kita sebagai manifestasi dari protes sosial masyarakat Sunda terhadap dominasi sosial dan politik asing yang dialami oleh masyarakat Sunda. Uga juga dapat dipandang oleh kita sebagai suatu gerakan navitisme masyarakat Sunda terhadap keadaan sosial, politik yang terjadi di lingkungan masyarakat Sunda. Wujud ramalan yang terkandung di dalam uga adalah suatu cara oposisi ketika orang Sunda merasa lemah dan tidak berdaya lagi di dalam mengubah situasi.****
Referensi : Cucu Sumantri, dkk.1999.Pandangan Masyarakat Terhadap Tipe Ideal Pemimpin Bangsa: Persepsi Wangsit Siliwangi dan Uga Sunda. Bandung: FASA – UNPAD.
Friday, February 13, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment