Sebuah catatan sejarah yang dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya gelar Prabu Wangi adalah tragedi Palagan Bubat. Peristiwa ini dicatat oleh sejarah Sunda sebagai satu catatan pahit, sebab pada tragedi palagan Bubat tersebut telah wafat para ksatria Sunda yang gagah berani. Peristiwanya sendiri terjadi pada Selasa Wage tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka atau 4 September 1357 Masehi. Para ksatria yang gugur dalam peristiwa tragedi palagan Bubat adalah Rakean Tumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri usus yaitu bayangkara sang prabu, Rakaean Senapatiyuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya patih mandala kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakaean Nakoda Braja yang menjadi panglima pasukan laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan, Ki Juruwastra, Ki Mantri Sebrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking, Sang Prabu Maharaja Linggabuana, dan Rajaputri Dyah Pitaloka bersama semua pengiringnya. Pada catatan sejarah Sunda selanjutnya Prabu Maharaja Linggabuana kemudian mendapat gelar sebagai Prabu Wangi.
Ketika Prabu Maharaja Linggabuana wafat di Bubat, putranya Sang Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun. Oleh karenanya, pemerintahan kerajaan Sunda untuk sementara waktu dipegang oleh Mangkubumi, Sang Bunisora. Sang Bunisora wafat pada tahun 1371 Masehi dengan masa pemerintahannya selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari, dan kemudian digantikan oleh Sang Niskala Wastu Kancana pada tahun yang sama.
Pada masa pemerintahan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana, ia mengajarkan cara-cara membentuk kekuatan dalam keadaan damai. Ia heubeul jaya di buana memerintah kerajaan Sunda selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari. Ia wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. Namun sebelum kewafatannya, Maha Prabu Niskala Wastu Kancana sempat membagi Jawa Barat menjadi dua wilayah kerajaan. Pembagian tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh raja-raja sebelumnya, yaitu :
Dari batas Sungai Citarum ke wilayah Barat, disebut kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Haliwungan atau Sang Susuktunggal, dengan nama nobat Prabu Dewatmaka;
Dari Batas Sungai Citarum ke wilayah Timur, disebut kerajaan Galuh, diwariskan kepada Sang Ningrat Kancana, dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala.
Keharmonisan hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh yang diwariskan oleh Maha Prabu Niskala Wastu Kancana terganggu akibat tidak langsung yang melanda keluarga keraton Trowulan kerajaan Majapahit. Konflik pribadi kedua raja semakin memuncak dan hal ini telah mengkhawatirkan keadaan di Jawa Barat akan dilanda perang saudara. Namun atas prakarsa para pemuka dari kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh yang mengadakan musyawarah, keadaan ini dapat di atasi. Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala akhirnya diminta secara bersama-sama meletakkan tahtanya. Kedua raja tersebut meletakkan tahtanya pada tahun 1482 Masehi. Prabu Susuktunggal menjadi raja di Sunda selama 100 tahun, dari sejak ia berusia 13 tahun. Prabu Dewa Niskala menjadi raja di Galuh, resminya hanya 7 tahun tetapi sebelumnya Prabu Dewa Niskala sudah menjadi Yuwaraja dari sejak usia 23 tahun di Galuh. Pengganti kdua raja tersebut adalah Sang Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja yang kemudian mendirikan kerjaan Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja berhasil mempersatukan kembali wilayah Sunda dan Galuh di atas nama kerajaan Pajajaran. Di bawah pemerintahannya kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan. Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di Utara, Selatan, Barat, dan Timur karena perasaan sejahtera (Purbatisti-purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kretatang lor kidul kulon wetan kena kretarasa). Sri Baduga Maharaja memerintah Pajajaran selama 39 tahun dari tahun 1482-1521 Masehi. Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, kemudian digantikan oleh putranya, Sang Surawisesa.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa, Pajajaran dilanda perselisihan dengan Cirebon. Prabu Surawisesa wafat pada tahun 1535 Masehi, setelah 14 tahun berupaya mempertahankan Pajajaran. Pajajaran selanjutnya diperintah oleh Sang Ratu Dewatabuana, putra Prabu Surawisesa. Sang Ratu Dewatabuana sebagai raja ketiga Pajajaran cendrung mengabaikan urusan duniawi. Ia bertindak sebagai raja pendeta (ngarajaresi). Dalam masa pemerintahan Sang Ratu Dewatabuana, Pajajaran diserang oleh pasukan tambuh sangkane (tidak dikenal identitasnya) tetapi serangan tersebut dapat digagalkan. Setelah Sang Ratu Dewatabuana wafat, ia digantikan oleh putanya, Ratu Sakti, pada tahun 1543 Masehi. Ratu Sakti dalam menjalankan pemerintahannya sebagai raja Pajajaran keempat bertindak terlalu kejam. Akibat pelanggaran norma akhirnya Sang Ratu Sakti diturunkan dari tahtanya pada tahun 1551 Masehi. Ratu Sakti digantikan oleh Prabu Nilakendra.
Pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra keadaan Pajajaran sudah sedemikian bokbroknya. Rakyat dilanda kelaparan, karena serakah, tidak ada kerja sama sekali. Pada masa itu pula terjadi lagi serangan yang kedua kalinya dari pasukan tidak dikenal identitasnya. Prabu Nilakendra tidak berdaya atas serangan tersebut. Ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya.
Pakuan sejak ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, sebab sebagian penduduknya telah mengungsi. Sang Ragamulya Suryakancana yang ikut mengungsi, akhirnya meneruskan tahta Pajajaran di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Namun sayang, pasukan gabungan dari Surasowan dan Cirebon berhasil menghancurkan Pajajaran di Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya binasa tidak ada yang tersisa. Pajajaran sirna ing bhumi pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau 8 Mei 1579 Masehi. ****
Referensi : Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing rajakawasa).Bandung
: Geger Sunten.
Wednesday, February 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bingung deh Kang. Di Kampung Adat Urug, cenah mah Prabu Nilakendra (PN) teh kasohor Raja Pajajaran yang alim..... tapi di sebagian besar tulisan mencatat bahwa pada zaman PN teh rakyat kalaparan jeung Rajana oge Sarakah (Zalim). kumaha tah menurut akang ?......
ReplyDelete