What is name? Begitu lontaran perkataan yang pernah dikemukakan Shakespeare tentang sebuah nama. Sebuah pertanyaan mendasar tentang makna sebuah nama yang tentunya agak sulit untuk kita jawab dengan cepat. Hal ini dikarenakan perlu suatu perenungan dan penelusuran makna yang mendalam.
Nama merupakan salah satu upaya di dalam pelabelan sesuatu. Pemberian nama terhadap sesuatu juga dapat menyangkut pengungkapan cara pola piker suatu masyarakat. Bagi sebagian masyarakat kita pada umumnya pemberian suatu nama dianggap penting di dalam membedakan sesuatu dari yang lainnya. Nama (khususnya nama seseorang bagi masyarakat Sunda bukan hanya dianggap sekedar pembeda dari orang lain. Melainkan lebih dari itu. Bagi masyarakat Sunda nama termasuk sesuatu yang sacral dan wujud penghormatan kepada seseorang. Kesakralan itu dibuktikan dengan adanya kepamalian ‘pertabuan’ pada masyarakat Sunda berupa ekspresi ulah nyebut ngaran kolot matak hapa hui.
Penyebutan nama secara langsung tanpa menggunakan kata sapaan, terutama kepada orang yang lebih tua dan layak dihormati dianggap kurang sopan dan tidak etis. Oleh karena itu, penamaan orang tua pada masyarakat Sunda lebih umum disebut menurut nama anak sulungnya. Pasangan yang telah mempunyai anak, tabu disebut-sebut lagi namanya, misalnya bila anak sulungnya itu laki-laki dan diberi nama Emed, maka segera orang tuanya akan mendapat penggilan Pa Emed dan Ma Emed. Demikian pula halnya yang terjadi bila anak sulungnya itu perempuan.
Meskipun penyebutan nama adalah soal mana suka, namun pada umumnya masyarakat Sunda tidak suka jika namanya menjadi bahan perbincangan orang lain, terlebih-lebih bila diperolok-olokan. Sekali pun pemilik nama tersebut telah meninggal dunia, namanya tidak boleh disebutkan lagi. Sebagai nama penggantinya dan sekaligus penghormatan kepada yang telah meninggal maka digunakanlah sapaan si jenat, jenatna.
Nama bagi masyarakat Sunda dapat juga mencerminkan keberadaan sosial dan latar belakang geografis seseorang. Melalui namanya terkadang dapat terlihat apakah si pemilik nama itu beraal dari golongan somah (golongan bawah), Santana (golongan menengah), atau menak (golongan atas, bangsawan). Misalnya untuk golongan bangsawan, jika pada namanya menggunakan Suria, pemilik nama itu berasal dari wilayah Sumedang; Suriadilaga. Wira berasal dari wilayah Sukapura; Wirakusumah. Kusuma(h) berasal dari wilayah Bandung; Wiranatakusuma(h). Tanu berasal dari wilayah Cianjur; Wiratanudatar. Ada pula upaya lain yang mengharuskan penamaan itu mengandung fonem tertentu, misalnya untuk masyarakat golongan atas yang berasal dari wilayah Ciamis biasanya menggunakan inisial fonem /g/ pada namanya : Ginardi, Garmilah, Galuh.
Makna nama pada masyarakat Sunda ada yang diberikan dengan acuan dan ada pula yang tanpa acuan. Pemberian nama dengan tanpa acuan hanya dimaksudkan untuk membedakan seseorang dengan orang lain. Sedangkan pemberian makna nama dengan acuan dapat dilihat dengan adanya pengacuan kepada kata sapaan, keturunan, perhitungan, alam, relegi, tokoh, unik dan modis.
Pengecuan nama dengan kata sapaan terjadi akibat dari situasi pemakaian dan hubungan antara penyapa dengan pesapa. Misalnya kata sapaan mesra nyai dapat berkembang menjadi nama kesanyangan dan nama asli: Ai, Ani, Nani; (En)cep menjadi nama : Ace, Aceng, Aep, Asep, Atep, Cecep, Cece, Ceceng, Ece, Eep, Empep, Ence, Encep, Pepep, Sesep, Tetep, dll; (R)aden Nenden, dll; Agan yang semula berasal dari kata juragan berkembang menjadi Adang, Agah, Atang, Dadang, Nandang, Nang, Tatang, dll; (e)neng yang berasal dari neneng atau neng berkembang menjadi Eneng, Ening, Enong, Onong, Unung, Nining, Nunung, dll; Otong berkembang menjadi nama Oto, Otoy, Totong, dll.
Pemberian nama berdasarkan keturunan muncul setelah adanya pengaruh Barat di dalam masyarakat Sunda. Nama keturunan tersebut biasanya menjadi family name. Nama keluarga digunakan sebagai nama kepanjangan oleh masyarakat golongan atas. Makna nama tersebut mengacu pada makna filosofis yang dalam, biasanya berasal dari bahasa Kawi dan Sansekerta, seperti Gandakusuma yang bermakna ganda ‘harum’, kusuma(h) ‘bunga’ (bunga yang harum); Jayadisastra yang bermakna jaya ‘unggul’, di (hadi) ‘indah’, sastra ‘tulisan’ (tulisan yang indah); Kartasasmita yang bermakna karta ‘aman’, sasmita ‘perlambang’ (perlambang aman); Nataprawira yang bermakna nata ‘ratu/raja’, prawira ‘teguh hati’ (raja yang teguh hati); Somawisesa yang bermakna soma ‘bulan’, wisesa ‘maha kuasa’ (bulan yang maha kuasa); Surawijaya yang bermakna sura ‘dewa’, wijaya ‘kejayaan’ (dewa kejayaan); Wijayakusuma yang bermakna bunga kejayaan; Wirasumantri yang bermakna wira ‘laki-laki/prajurit’, su ‘baik’, mantra ‘penggawa/pegawai negara’ (prajurit yang baik).
Makna nama juga mengacu kepada alam, acuannya dapat berupa benda langit, benda mati, binatang, warna, waktu, dan peristiwa yang dianggap penting saat kelahiran. Nama-nama yang mengacu kepada benda langit seperti Aditya (matahari), Bayu (angin), Surya (matahari), Wulan (bulan), Tirta (air), dll. Nama-nama yang merupakan acuan kepada binatang seperti Kidang Pananjung, Kudalelean, Limanjaya, Mundinglaya, Ciungwanara, dll. Nama yang mengacu kepada bunga misalnya Cempaka, Dahlia, Eros, dll. Nama yang mengacu kepada warna misalnya Iteung, Endeung dari hideung ‘hitam’. Ule dari bule. Nama yang mengacu kepada waktu misalnya Sapari, Sapariah, Ramadhan, Ramadhani.
Pengacuan nama bias juga mengacu kepada tokoh atau idola, misalnya tokoh bidang politik, agama, olah raga, seni, dll. Orang tua yang senang kepada wayang biasanya akan memberi nama anaknya dengan tokoh wayang seperti Darma, Karna, Lasmana, Pergiwati, Utari, Rukmini, dll.
Pemberian nama kepada seseorang juga ada yang didasarkan atas rasa keunikan nama, miaslnya anak yang pertama diberi nama Irma (perempuan), kemudian adiknya diberi nama Irvan (laki-laki), adiknya lagi diberi nama dengan yang bersilabe awalnya sama dengan kakaknya (Ir-). Namun ada pula yang berdasarkan urutan abjad misalnya Avia, Bela, Cita , Dewi, dan seterusnya.
Disebagian masyarakat Sunda dari golongan menengah ke atas yang tinggal di kota-kota dewasa ini sering memberikan nama kepada seseorang dengan pertimbangan modis. Nama-nama tersebut seperti Boy, Freddy, Oky, Lucky, Meisye, Susie, dan lain-lain.
Pada masyarakat Sunda juga mengenal adanya ketidakcocokan nama yang diberikan kepada seseorang. Ketidakcocokan nama tersebut menurut anggapan mereka ditandai dengan sering sakitnya si pemilik nama itu biasanya pada masa anak-anak oleh karena beurat ku ngaran ‘terlalu berat oleh nama’. Munculnya pengertian beurat ku ngaran ini dapat dilihat dari dua segi yaitu sosiologis dan filosofis. Secara sosiologis beurat ku ngaran terjadi karena masyarakat golongan somah (bawah) menggunakan nama-nama masyarakat golongan menak. Sedangkan secara filosofis terjadi karena terlalu banyak harapan yang termuat pada makna namanya. Oleh karena itu, nama tersebut harus segera diganti oleh nama yang menurut perhitungan lebih cocok untuk orang itu. Penggantian nama karena ketidakcocokan nama, biasanya diikuti dengan hajatan ‘selamatan’ dengan cara menyajikan bubur beureum bubur bodas ‘bubur merah bubur putih’. Pembuatan bubur ini selain menandai resminya penggantian nama, juga bermakna simbolis. Secara biologis, bubur merah melambangkan wanita (darah, haid), sedangkan bubur putih melambangkan laki-laki (sperma). Berdasarkan filsafat Hindu, bubur merah melambangkan laki-laki (keberanian), sedangkan bubur putih melambangkan wanita (kesucian). Cag **** CS
Referensi
Cece Sobarna. Makna Nama: Cara Berpikir Masyarakat Sunda.
Thursday, February 26, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment