Thursday, February 26, 2009

DI BALIK SEBUAH NAMA

What is name? Begitu lontaran perkataan yang pernah dikemukakan Shakespeare tentang sebuah nama. Sebuah pertanyaan mendasar tentang makna sebuah nama yang tentunya agak sulit untuk kita jawab dengan cepat. Hal ini dikarenakan perlu suatu perenungan dan penelusuran makna yang mendalam.
Nama merupakan salah satu upaya di dalam pelabelan sesuatu. Pemberian nama terhadap sesuatu juga dapat menyangkut pengungkapan cara pola piker suatu masyarakat. Bagi sebagian masyarakat kita pada umumnya pemberian suatu nama dianggap penting di dalam membedakan sesuatu dari yang lainnya. Nama (khususnya nama seseorang bagi masyarakat Sunda bukan hanya dianggap sekedar pembeda dari orang lain. Melainkan lebih dari itu. Bagi masyarakat Sunda nama termasuk sesuatu yang sacral dan wujud penghormatan kepada seseorang. Kesakralan itu dibuktikan dengan adanya kepamalian ‘pertabuan’ pada masyarakat Sunda berupa ekspresi ulah nyebut ngaran kolot matak hapa hui.
Penyebutan nama secara langsung tanpa menggunakan kata sapaan, terutama kepada orang yang lebih tua dan layak dihormati dianggap kurang sopan dan tidak etis. Oleh karena itu, penamaan orang tua pada masyarakat Sunda lebih umum disebut menurut nama anak sulungnya. Pasangan yang telah mempunyai anak, tabu disebut-sebut lagi namanya, misalnya bila anak sulungnya itu laki-laki dan diberi nama Emed, maka segera orang tuanya akan mendapat penggilan Pa Emed dan Ma Emed. Demikian pula halnya yang terjadi bila anak sulungnya itu perempuan.
Meskipun penyebutan nama adalah soal mana suka, namun pada umumnya masyarakat Sunda tidak suka jika namanya menjadi bahan perbincangan orang lain, terlebih-lebih bila diperolok-olokan. Sekali pun pemilik nama tersebut telah meninggal dunia, namanya tidak boleh disebutkan lagi. Sebagai nama penggantinya dan sekaligus penghormatan kepada yang telah meninggal maka digunakanlah sapaan si jenat, jenatna.
Nama bagi masyarakat Sunda dapat juga mencerminkan keberadaan sosial dan latar belakang geografis seseorang. Melalui namanya terkadang dapat terlihat apakah si pemilik nama itu beraal dari golongan somah (golongan bawah), Santana (golongan menengah), atau menak (golongan atas, bangsawan). Misalnya untuk golongan bangsawan, jika pada namanya menggunakan Suria, pemilik nama itu berasal dari wilayah Sumedang; Suriadilaga. Wira berasal dari wilayah Sukapura; Wirakusumah. Kusuma(h) berasal dari wilayah Bandung; Wiranatakusuma(h). Tanu berasal dari wilayah Cianjur; Wiratanudatar. Ada pula upaya lain yang mengharuskan penamaan itu mengandung fonem tertentu, misalnya untuk masyarakat golongan atas yang berasal dari wilayah Ciamis biasanya menggunakan inisial fonem /g/ pada namanya : Ginardi, Garmilah, Galuh.
Makna nama pada masyarakat Sunda ada yang diberikan dengan acuan dan ada pula yang tanpa acuan. Pemberian nama dengan tanpa acuan hanya dimaksudkan untuk membedakan seseorang dengan orang lain. Sedangkan pemberian makna nama dengan acuan dapat dilihat dengan adanya pengacuan kepada kata sapaan, keturunan, perhitungan, alam, relegi, tokoh, unik dan modis.
Pengecuan nama dengan kata sapaan terjadi akibat dari situasi pemakaian dan hubungan antara penyapa dengan pesapa. Misalnya kata sapaan mesra nyai dapat berkembang menjadi nama kesanyangan dan nama asli: Ai, Ani, Nani; (En)cep menjadi nama : Ace, Aceng, Aep, Asep, Atep, Cecep, Cece, Ceceng, Ece, Eep, Empep, Ence, Encep, Pepep, Sesep, Tetep, dll; (R)aden Nenden, dll; Agan yang semula berasal dari kata juragan berkembang menjadi Adang, Agah, Atang, Dadang, Nandang, Nang, Tatang, dll; (e)neng yang berasal dari neneng atau neng berkembang menjadi Eneng, Ening, Enong, Onong, Unung, Nining, Nunung, dll; Otong berkembang menjadi nama Oto, Otoy, Totong, dll.
Pemberian nama berdasarkan keturunan muncul setelah adanya pengaruh Barat di dalam masyarakat Sunda. Nama keturunan tersebut biasanya menjadi family name. Nama keluarga digunakan sebagai nama kepanjangan oleh masyarakat golongan atas. Makna nama tersebut mengacu pada makna filosofis yang dalam, biasanya berasal dari bahasa Kawi dan Sansekerta, seperti Gandakusuma yang bermakna ganda ‘harum’, kusuma(h) ‘bunga’ (bunga yang harum); Jayadisastra yang bermakna jaya ‘unggul’, di (hadi) ‘indah’, sastra ‘tulisan’ (tulisan yang indah); Kartasasmita yang bermakna karta ‘aman’, sasmita ‘perlambang’ (perlambang aman); Nataprawira yang bermakna nata ‘ratu/raja’, prawira ‘teguh hati’ (raja yang teguh hati); Somawisesa yang bermakna soma ‘bulan’, wisesa ‘maha kuasa’ (bulan yang maha kuasa); Surawijaya yang bermakna sura ‘dewa’, wijaya ‘kejayaan’ (dewa kejayaan); Wijayakusuma yang bermakna bunga kejayaan; Wirasumantri yang bermakna wira ‘laki-laki/prajurit’, su ‘baik’, mantra ‘penggawa/pegawai negara’ (prajurit yang baik).
Makna nama juga mengacu kepada alam, acuannya dapat berupa benda langit, benda mati, binatang, warna, waktu, dan peristiwa yang dianggap penting saat kelahiran. Nama-nama yang mengacu kepada benda langit seperti Aditya (matahari), Bayu (angin), Surya (matahari), Wulan (bulan), Tirta (air), dll. Nama-nama yang merupakan acuan kepada binatang seperti Kidang Pananjung, Kudalelean, Limanjaya, Mundinglaya, Ciungwanara, dll. Nama yang mengacu kepada bunga misalnya Cempaka, Dahlia, Eros, dll. Nama yang mengacu kepada warna misalnya Iteung, Endeung dari hideung ‘hitam’. Ule dari bule. Nama yang mengacu kepada waktu misalnya Sapari, Sapariah, Ramadhan, Ramadhani.
Pengacuan nama bias juga mengacu kepada tokoh atau idola, misalnya tokoh bidang politik, agama, olah raga, seni, dll. Orang tua yang senang kepada wayang biasanya akan memberi nama anaknya dengan tokoh wayang seperti Darma, Karna, Lasmana, Pergiwati, Utari, Rukmini, dll.
Pemberian nama kepada seseorang juga ada yang didasarkan atas rasa keunikan nama, miaslnya anak yang pertama diberi nama Irma (perempuan), kemudian adiknya diberi nama Irvan (laki-laki), adiknya lagi diberi nama dengan yang bersilabe awalnya sama dengan kakaknya (Ir-). Namun ada pula yang berdasarkan urutan abjad misalnya Avia, Bela, Cita , Dewi, dan seterusnya.
Disebagian masyarakat Sunda dari golongan menengah ke atas yang tinggal di kota-kota dewasa ini sering memberikan nama kepada seseorang dengan pertimbangan modis. Nama-nama tersebut seperti Boy, Freddy, Oky, Lucky, Meisye, Susie, dan lain-lain.
Pada masyarakat Sunda juga mengenal adanya ketidakcocokan nama yang diberikan kepada seseorang. Ketidakcocokan nama tersebut menurut anggapan mereka ditandai dengan sering sakitnya si pemilik nama itu biasanya pada masa anak-anak oleh karena beurat ku ngaran ‘terlalu berat oleh nama’. Munculnya pengertian beurat ku ngaran ini dapat dilihat dari dua segi yaitu sosiologis dan filosofis. Secara sosiologis beurat ku ngaran terjadi karena masyarakat golongan somah (bawah) menggunakan nama-nama masyarakat golongan menak. Sedangkan secara filosofis terjadi karena terlalu banyak harapan yang termuat pada makna namanya. Oleh karena itu, nama tersebut harus segera diganti oleh nama yang menurut perhitungan lebih cocok untuk orang itu. Penggantian nama karena ketidakcocokan nama, biasanya diikuti dengan hajatan ‘selamatan’ dengan cara menyajikan bubur beureum bubur bodas ‘bubur merah bubur putih’. Pembuatan bubur ini selain menandai resminya penggantian nama, juga bermakna simbolis. Secara biologis, bubur merah melambangkan wanita (darah, haid), sedangkan bubur putih melambangkan laki-laki (sperma). Berdasarkan filsafat Hindu, bubur merah melambangkan laki-laki (keberanian), sedangkan bubur putih melambangkan wanita (kesucian). Cag **** CS

Referensi
Cece Sobarna. Makna Nama: Cara Berpikir Masyarakat Sunda.

Sunday, February 15, 2009

SEBUAH KILAS BALIK

PANDANGAN PROFESIONAL DI MATA KI SUNDA
Oleh : Cucu Sumantri


Pada masa globalisasi sekarang ini kita sering mendengar kata professional yang banyak didengungkan dan sekaligus dituntut di dalam menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan. Lebih jauhnya adalah tuntutan keprofesionalan di dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang membutuhkan suatu keahlian. Namun pada kenyataan sehari-hari kita sering mengacu kepada pandangan dan pengertian yang datangnya dari dunia Barat sana di dalam memahami kata professional tersebut. Memang tidak ada salahnya bila berpandangan seperti itu. Sebab kita sadari dari asal katanya sendiri – professional telah menunjukkan asal katanya dari bahasa Inggris - profesion. Namun bagaimanakah pandangan professional di mata Ki Sunda? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ternyata tidaklah mudah semudah kita membalikan tangan ini. Kita memerlukan penelusuran sejarah dan informasi dari naskah-naskah kuno peninggalan leluhur Sunda.
Setidaknya ada dua naskah kuno yang dapat diacu di dalam menguraikan pandangan professional di mata Ki Sunda ini. Pertama adalah naskah kuno Sanghyang Siksakanda’ng Karesian (SSK) atau yang lebih dikenal dengan nama naskah kropak 630. Pandangan tentang professional dalam naskah kropak 630 ini diungkapkan secara simbolik – siloka : tadaga carita hangsa, gajendra carita banem, matsyanem carita sagarem, puspanem carita bangbarem (telaga dikisahkan angsa, gajah mengisahkan hutan, ikan mengisahkan laut, bunga dikisahkan kumbang).
Dari simbol – siloka di atas dapatlah kita uraikan bahwa kita seyogyanya selalu bertanya kepada ahli (pakar)-nya yaitu yang benar-benar mengatahui tentang apa yang akan kita tanyakan kepadanya atau dalam singkat kata kita bertanyalah kepada yang profesional jangan kepada yang lainnya yang dalam simbol – siloka disebutkan bahwa bertanyalah kepada angsa bila ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan telaga. Begitu pula bertanyalah kepada gajah bila ingin mengetahui tentang seluk beluk hutan, dan seterusnya.
Di dalam naskah kropak 630 juga diutarakan tentang profesi yang telah dikuasai oleh masyarakat Sunda pada masa itu dan sekaligus juga tempat bertanya bagi mereka. Dengan kata lain pada masa itu di Sunda sudah terdapat adanya keprofesionalan di dalam suatu pekerjaan. Profesi yang disebutkan di dalam naskah kropak 630 itu diantaranya dalang (orang yang mengetahui semua cerita), paraguna (orang yang mengetahui berbagai macam lagu), hempul (ahli permainan rakyat), prepantun ( ahli cerita pantun), lukis (ahli lukisan), panday (ahli pembuatan pekakas), marangguy (ahli ukiran), hareupcatra (ahli masakan), pangeuyeuk (ahli kain), pratanda (ahli dalam bidang jenjang keagamaan), hulujurit (ahli strategi perang), brahmana (ahli mantra), janggan (ahli bentuk pemujaan), bujangga (ahli pertanda jaman), pandita (ahli isi pustaka), ratu (orang yang memiliki pengetahuan tentang kesempurnaan kerajaan), mangkubumi (ahli di bidang ukur-mengukur tanah), puhawang (ahli di bidang kelautan dan pelabuhan), catrikbyapari (ahli di bidang ukura harga), wikuparaloka (ahli di bidang tingkah laku dewa), jurubasadarmamurcaya (ahli di bidang bahasa asing).
Kedua adalah naskah kuno Amanat Galunggung (AG) atau lebih dikenal dengan nama naskah kropak 632, pengacuan pemahaman profesional lebih diutarakan dengan jelas sebagai pembagian kerja dan tanggung jawabnya sesuai dengan keahlian di bidang masing-masing atau bila merujuk kepada istilah Barat apa yang dikenal dengan sebutan the man behind the gun. Adapun mengenai keterangannya itu adalah sebagai berikut : jagat darana di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palaka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pameunangan, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada muliannya, maka pada mulia, ku ulah ku sabda, ambek …(dunia kemakmuran tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu, jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal usulnya, sama mulianya, oleh karena itu bersama-samalah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad …).
Ternyata profesional seperti yang diacu di dalam naskah kropak 632 mengisyaratkan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab kerja di dalam mengerjakan dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Kita tidak diperbolehkan iri hati kepada pekerjaan orang lain. Kita diisyaratkan untuk tetap patuh dan taat kepada tugas masing-masing. Sebab sebuah tanggung jawab pekerjaan itu pada akhirnya merupakan suatu mata rantai dari keseluruhan tanggung jawab di dalam satu tim kerja untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dari tujuan kerja yang telah digariskan bersama. Dalam hal ini kita tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan dan tanggung jawab orang lain yang tidak sesuai dengan keahlian dan kemampuan kita atau dengan singkat kata apa yang sering lebih dikenal dengan istilah litas sektoral.
Profesional seperti yang diacu di dalam naskah kropak 632 juga sebetulnya merupakan teori dasar dari teori win win solution yang sering kita kenal selama ini yaitu we loose you loos, if we win you win. Profesional dalam hal ini pula harus merupakan suatu kepatuhan kepada tanggung jawab terhadap posisi masing-masing. Sebab kalau tidak begitu adanya maka semua pekerjaan yang dikerjakan akan berakhir dengan sia-sia saja. Keprofesionalan adalah inti dari kekuatan di dalam mencapai target dan tujuan suatu pekerjaan.****CS

Friday, February 13, 2009

SEBUAH PERSEPSI TENTANG UGA

Diyakini bahwa setiap manusia tentulah memiliki suatu pandangan terhadap suatu kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Masyarakat Sunda sebagai satu komunitas manusia Sunda dipastikan pula memiliki pandangan terhadap suatu kenyataan tersebut. Pandangan terhadap kenyataan itu telah diarahkan oleh seluruh sistem aturan, lembaga, tipologi, peranan ideologi, mitologi, dan lain-lain yang sudah tentu berbeda menurut masyarakat dan kebudayaannya. Pandangan terhadap suatu kenyataan tersebut salah satunya dapat tercermin dari uga yang dibuat oleh masyarakat Sunda.
Dikalangan masyarakat Sunda, ada suatu kepercayaan bahwa perubahan sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun. Ramalan mengenai perubahan sosial yang penting, terutama yang menyangkut masalah negara atau wilayah ini biasanya terdapat di dalam uga. Uga sebagai suatu bentuk ramalan tentunya dapat diinterpretasikan bergantung kepada tingkat kepercayaan orang yang mengiterpretasikannya. Bahkan tidak jarang ada orang yang mengiterpretasikan kata-kata yang terkandung di dalam uga tersebut diartikan secara harfiah atau secara kongkrit.
Keberadaan uga hadir dan dikenal dikalangan masyarakat Sunda terutama pada masyarakat agraris-tradisional, khususnya di kalangan orang-orang tua dan hampir tidak dikenal lagi di kalangan orang-orang muda. Ungkapan-ungkapan yang terkandung di dalam uga biasanya digunakan orang-orang tua untuk memahami “tanda-tanda zaman” yaitu meramalkan akan adanya suatu perubahan sosial, politik pada masa yang akan datang yang terjadi di lingkungan mereka tinggal. Uga lebih sering diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang mengandung aspek siloka (simbolik). Kata-kata yang dipergunakannya pun sederhana, dalam bahasa sedang atau kasar menurut tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda. Uga dikenal juga sebagai tradisi lisan masyarakat Sunda. Oleh kareta itu uga memiliki sifat yang anonim tidak dikenal orang yang mengarangnya dan tidak jelas siapa pencetusnya.
Selain ada aspek simbolik di dalam uga juga terkandung unsur waktu. Hal ini terbukti dengan ditemukannya ungkapan dalam tradisi Sunda yang seperti ini geus nepi ka ugana, geus nepi kana waktu anu ditujum ku karuhun (sudah sampai pada uganya, sudah tiba pada saat yang diramalkan leluhur). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa di dalam ramalan yang berbentuk uga memiliki faktor “waktu” yang merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi unsur waktu yang terkandung di dalam uga bersifat tidak pasti, bisa terjadi kapan saja, bisa besok, lusa, tahun depan, atau mungkin bisa saja tidak pernah terjadi dan itulah mengapa uga lebih dikenal sebagai ramalan oleh masyarakat Sunda.
Uga sebagai khazanah dari tradisi lisan masyarakat Sunda tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat Sunda itu sendiri. Kelahiran dan penyebarannya terus muncul seiring dengan perubahan kondisi sosial yang terjadi di daerah wilayah Jawa Barat, seperti di daerah Tasikmalaya kita akan menemukan adanya Uga Galunggung yang berbunyi : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung ‘Orang Sunda akan tinggi derajatnya, apabila pulung turun dari Galunggung’, di daerah Bandung terdapat Uga Bandung yang berbunyi : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui ‘Orang Sunda akan tinggi derajatnya, bila orang yang merajuk dari Bandung ke Sungai Cikapundung kembali lagi’, di daerah Ciamis ada Uga Kawasen yang berbunyi : Ari nu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu jolna ti Gunung Surandil, banderana karakas cau ‘ yang bakal menjadi ratu, berbaju rombeng, bertopi tempurung, datangnya dari Gunung Surandil, berbendera daun pisan kering’, di daerah Sukabumi kita mendapati Uga Cisolok yang berbunyi : Nagara kartaraharja lamun Lebak Cawene geus kapanggih ‘negara kertaraharja, adil dan makmur, apabila Lebak Cawene sudah ditemukan’.
Selain dari uga-uga tadi, ada juga uga-uga yang lainnya yang terasa lebih ringkas dan popular di kalangan masyarakat hingga saat sekarang ini, seperti Bandung heurin ku tangtung ‘Bandung penuh sesak dengan bangunan’, Cianjur katalanjuran ‘Cianjur terlewatkan’, Sumedang ngarangrangan ‘Sumedang semakin meranggas’.
Walaupun uga dianggap oleh sebagian besar masyarakat Sunda sebagai suatu bentuk ramalan karuhun, namun ternyata bila kita renungkan makna kata-katanya dalam-dalam, mungkin kita akan mendapatkan sesuatu hal yang lebih dari sekedar sebuah ramalan, yaitu terungkapnya sebuah pandangan hidup manusia Sunda terhadap kehidupan ini. Sebab di dalam uga juga terkandung unsur-unsur moral guidance (petunjuk moral) dan moral teaching (ajaran moral) yang bersifat universal dalam kehidupan masyarakat. Dengan petunjuk moral dan ajaran moral tersebut diharapkan dapat membina kepribadian manusia Sunda di dalam mendapatkan kembali kejayaan dan kesentosaan negara pada masa yang akan datang.
Romantisme dan nostalgia terhadap kejayaan Sunda bihari masa lampau zaman keemasan kerajaan Pajajaran terus membayangi harapan dan keinginan sebagian besar orang Sunda. Agaknya, sejak kehancuran kerajaan Pajajaran bahkan mungkin hingga saat ini, orang Sunda belum menemukan suatu situasi sosial yang mereka harapkan. Uga dapat dipandang oleh kita sebagai manifestasi dari protes sosial masyarakat Sunda terhadap dominasi sosial dan politik asing yang dialami oleh masyarakat Sunda. Uga juga dapat dipandang oleh kita sebagai suatu gerakan navitisme masyarakat Sunda terhadap keadaan sosial, politik yang terjadi di lingkungan masyarakat Sunda. Wujud ramalan yang terkandung di dalam uga adalah suatu cara oposisi ketika orang Sunda merasa lemah dan tidak berdaya lagi di dalam mengubah situasi.****

Referensi : Cucu Sumantri, dkk.1999.Pandangan Masyarakat Terhadap Tipe Ideal Pemimpin Bangsa: Persepsi Wangsit Siliwangi dan Uga Sunda. Bandung: FASA – UNPAD.

Wednesday, February 11, 2009

Menelusuri Jejek Prabu Siliwangi dan Penerusnya

Sebuah catatan sejarah yang dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya gelar Prabu Wangi adalah tragedi Palagan Bubat. Peristiwa ini dicatat oleh sejarah Sunda sebagai satu catatan pahit, sebab pada tragedi palagan Bubat tersebut telah wafat para ksatria Sunda yang gagah berani. Peristiwanya sendiri terjadi pada Selasa Wage tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka atau 4 September 1357 Masehi. Para ksatria yang gugur dalam peristiwa tragedi palagan Bubat adalah Rakean Tumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri usus yaitu bayangkara sang prabu, Rakaean Senapatiyuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya patih mandala kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakaean Nakoda Braja yang menjadi panglima pasukan laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan, Ki Juruwastra, Ki Mantri Sebrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking, Sang Prabu Maharaja Linggabuana, dan Rajaputri Dyah Pitaloka bersama semua pengiringnya. Pada catatan sejarah Sunda selanjutnya Prabu Maharaja Linggabuana kemudian mendapat gelar sebagai Prabu Wangi.
Ketika Prabu Maharaja Linggabuana wafat di Bubat, putranya Sang Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun. Oleh karenanya, pemerintahan kerajaan Sunda untuk sementara waktu dipegang oleh Mangkubumi, Sang Bunisora. Sang Bunisora wafat pada tahun 1371 Masehi dengan masa pemerintahannya selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari, dan kemudian digantikan oleh Sang Niskala Wastu Kancana pada tahun yang sama.
Pada masa pemerintahan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana, ia mengajarkan cara-cara membentuk kekuatan dalam keadaan damai. Ia heubeul jaya di buana memerintah kerajaan Sunda selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari. Ia wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. Namun sebelum kewafatannya, Maha Prabu Niskala Wastu Kancana sempat membagi Jawa Barat menjadi dua wilayah kerajaan. Pembagian tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh raja-raja sebelumnya, yaitu :
Dari batas Sungai Citarum ke wilayah Barat, disebut kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Haliwungan atau Sang Susuktunggal, dengan nama nobat Prabu Dewatmaka;
Dari Batas Sungai Citarum ke wilayah Timur, disebut kerajaan Galuh, diwariskan kepada Sang Ningrat Kancana, dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala.
Keharmonisan hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh yang diwariskan oleh Maha Prabu Niskala Wastu Kancana terganggu akibat tidak langsung yang melanda keluarga keraton Trowulan kerajaan Majapahit. Konflik pribadi kedua raja semakin memuncak dan hal ini telah mengkhawatirkan keadaan di Jawa Barat akan dilanda perang saudara. Namun atas prakarsa para pemuka dari kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh yang mengadakan musyawarah, keadaan ini dapat di atasi. Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala akhirnya diminta secara bersama-sama meletakkan tahtanya. Kedua raja tersebut meletakkan tahtanya pada tahun 1482 Masehi. Prabu Susuktunggal menjadi raja di Sunda selama 100 tahun, dari sejak ia berusia 13 tahun. Prabu Dewa Niskala menjadi raja di Galuh, resminya hanya 7 tahun tetapi sebelumnya Prabu Dewa Niskala sudah menjadi Yuwaraja dari sejak usia 23 tahun di Galuh. Pengganti kdua raja tersebut adalah Sang Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja yang kemudian mendirikan kerjaan Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja berhasil mempersatukan kembali wilayah Sunda dan Galuh di atas nama kerajaan Pajajaran. Di bawah pemerintahannya kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan. Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di Utara, Selatan, Barat, dan Timur karena perasaan sejahtera (Purbatisti-purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kretatang lor kidul kulon wetan kena kretarasa). Sri Baduga Maharaja memerintah Pajajaran selama 39 tahun dari tahun 1482-1521 Masehi. Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, kemudian digantikan oleh putranya, Sang Surawisesa.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa, Pajajaran dilanda perselisihan dengan Cirebon. Prabu Surawisesa wafat pada tahun 1535 Masehi, setelah 14 tahun berupaya mempertahankan Pajajaran. Pajajaran selanjutnya diperintah oleh Sang Ratu Dewatabuana, putra Prabu Surawisesa. Sang Ratu Dewatabuana sebagai raja ketiga Pajajaran cendrung mengabaikan urusan duniawi. Ia bertindak sebagai raja pendeta (ngarajaresi). Dalam masa pemerintahan Sang Ratu Dewatabuana, Pajajaran diserang oleh pasukan tambuh sangkane (tidak dikenal identitasnya) tetapi serangan tersebut dapat digagalkan. Setelah Sang Ratu Dewatabuana wafat, ia digantikan oleh putanya, Ratu Sakti, pada tahun 1543 Masehi. Ratu Sakti dalam menjalankan pemerintahannya sebagai raja Pajajaran keempat bertindak terlalu kejam. Akibat pelanggaran norma akhirnya Sang Ratu Sakti diturunkan dari tahtanya pada tahun 1551 Masehi. Ratu Sakti digantikan oleh Prabu Nilakendra.
Pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra keadaan Pajajaran sudah sedemikian bokbroknya. Rakyat dilanda kelaparan, karena serakah, tidak ada kerja sama sekali. Pada masa itu pula terjadi lagi serangan yang kedua kalinya dari pasukan tidak dikenal identitasnya. Prabu Nilakendra tidak berdaya atas serangan tersebut. Ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya.
Pakuan sejak ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, sebab sebagian penduduknya telah mengungsi. Sang Ragamulya Suryakancana yang ikut mengungsi, akhirnya meneruskan tahta Pajajaran di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Namun sayang, pasukan gabungan dari Surasowan dan Cirebon berhasil menghancurkan Pajajaran di Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya binasa tidak ada yang tersisa. Pajajaran sirna ing bhumi pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau 8 Mei 1579 Masehi. ****

Referensi : Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing rajakawasa).Bandung
: Geger Sunten.

Tuesday, February 3, 2009

KEMBALI KE SEMANGAT KAWALI

DALAM RENUNGAN : KEMBALI KE SEMANGAT PRASASTI KAWALI

Adalah prasasti Kawali yang ditemukan di Astana Gede peninggalan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana membuka kembali pikir kita di dalam membangun kembali sumber kehakikian bagi kesentosaan negara. Melalui prasasti Kawali, Maha Prabu Niskala Wastu Kancana dengan tulusnya berbagi pengalaman kepada kita. Beliau berpesan di dalam prasasti Kawali I seperti ini : nihan tapa kawali nu siya mulia tapa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pa(n) deuri pake gawe rahhayu pekeun heubeul jaya dina buana ‘yang bertapa di Kawali ini adalah yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parigi (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia.’
Begitu pula pada prasasti Kawali II, beliau kembali berpesan : aya ma nu ngeusi bhagya kawali bari pakena kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan ‘semoga ada (mereka) yang kembali mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang.’
Dari dua prasasti Kawali ini setidaknya ada dua inti pesan dari Prabu Niskala Wastu Kancana kepada kita di dalam membangun kesentosaan Negara. Kedua pesan tersebut lebih menitikberatkan kepada perilaku dan moralitas pengelola Negara itu sendiri. Kedua pesan tersebut adalah:
Membiasakan diri berbuat kebajikan, hal ini diungkapkan di dalam prasasti dengan kata pakena gawe rahayu; dan
Membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati, hal ini diungkapkan di dalam prasasti dengan perkataan : pakena kereta bener.

Bila setiap orang berpegang tuguh kebenaran dalam menjalankan tugasnya masing-masing, maka akan tercapailah kesejahteraan sejati. Tercapainya kesejahteraan batin, karena tidak memungkiri dan mengingkari kebenaran. Tercapainya kesejahteraan lahir, karena menjalankan tugas dengan penuh kesungguhan. Jujur dan sungguh-sungguh di dalam pelaksanaan tugas dan akan memberikan hasil prestasi yang maksimal.
Bukan hanya pedang dan tombak yang harus tetap di asah, melainkan juga akal, budi, keahlian, dan kepekaan terhadap kebenaran dan kebajikan. Memang butuh suatu proses yang panjang untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Dunia pendidikan dalam hal ini sangat berperan di dalam proses keberhasilan pewujudan sikap dan metal seperti itu. Namun tidak usahlah kita kemudian merasa resah gelisah mencari-cari cara untuk dapat mewujudkan penanaman sikap mental seperti yang diharapkan oleh semangat prasasti Kawali, karena di masyarakat Sunda pun telah ada konsep pendidikan yang menopang ke arah itu, yaitu tujuh pilar pendidikan yang terdiri dari cageur, bageur, pinter, singer, bener, jujur, dan sabar. Sekarang tinggal mau tidaknya keseriusan kita di dalam pelaksanaan dan penerapan konsep pendidikan tersebut.
Kesinambungan pelaksanaan pendidikan formal (sekolah) dan non-formal (masyarakat dan keluarga) dapat menerapkan konsep pendidikan ini. Tetapi alangkah akan mudah tercapainya keadaan sikap mental seperti yang diharapkan oleh semangat prasasti Kawali bila penerapan konsep pendidikan cageur, bageur, pinter, singer, bener, jujur dan sabar itu dilaksanakan di lingkungan keluarga. Mengingat lingkungan keluarga adalah lingkungan terdekat dan paling banyak waktu yang diikuti oleh anak didik.
Begitulah semangat prasasti Kawali yang telah diwariskan oleh Prabu Niskala Wastu Kancana kepada kita, dan beliau berpesan diakhir hayatnya kepada kita : sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan! ‘Barangkali ada yang hendak meniru perilaku yang mendiang ke Nusalarang. Agar lama berjaya di dunia, agar tetap unggul dalam perang! ****Cag.

Referensi :
Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung :Geger
Sunten.
Hadi, Ahmad.1998. Mustika Tujuh Rupa, Konsep Atikan Urang Sunda.Bandung : Suara
Daerah